RAMADHAN SEBAGAI SARANA TADZHIBUN NAFSI

2023-03-23 | 1165 | Berita

RAMADHAN SEBAGAI SARANA TADZHIBUN NAFSI

Oleh: Agus Riyadi, M.Pd.

Dosen STIABI Riyadlul ‘Ulum Tasikmalaya


     Ramadhan merupakan bulan bertuah, bulan ibadah, bulan mujahadah, bulan rahmah, bulan maghfirah, bulan al-Qur’an dan bulan Lailatul Qodr. Pada bulan ini Seorang Muslim yang baik sejatinya manfaatkan bulan suci yang hanya terjadi setahun sekali ini dengan banyak beribadah, memberi nasehat dan saling mema’afkan. Bulan suci Ramadhan pada hakikatnya membawa aura berkah selaksa angin sejuk yang menerpa sanubari setiap kaum beriman. Ia menebarkan panorama ampunan dan membawa pesona yang menyenangkan dan menenagngkan jiwa. Ia mendorong dan menjadi penyemangat bagi mukmin untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT.

     Seorang Muslim mempunyai kewajiban untuk menjamu tamu agung bulan Ramadhan yang akan kita laksanakan di Tahun ini, yaitu dengan menjalankan ibadah puasa. Selain itu, diperintahkan pula untuk memperbanyak amalan sunnah, seperti shalat tarawih, shalat witir dan shalat sunnah lainnya, memperbanyak membaca al-Quran, dzikir, shalawat, sedekah dan amalan-amalan sunnah lainnya. Semua amalan dilakukan atas dasar keikhlasan demi membentuk pribadi yang bertaqwa yang mempunyai ketinggian moral dan pada gilirannya akan menjadikan seseorang mendapatkan derajat tinggi di sisi Allah SWT.
Puasa Ramadhan bukan memindahkan waktu makan dan minum, puasa yang secara sederhana dapat diartikan “menahan diri”, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Hal yang membatalkan puasa di sini bukan hanya membatalkan ibadahnya secara hukum, akan tetapi  juga mencakup hal-hal yang membatalkan hakikat, tujuan, hikmah dan membatalkan pahalanya.

     Puasa bukan hanya sekedar memindahkan waktu makan dan minum yang semula di siang hari, menjadi di malam hari atau setelah masuk waktu maghrib. Puasa secara lahiriah mungkin dekat dengan arti demikian, akan tetapi, secara bathiniyah, puasa dalam arti menahan hawa nafsu untuk tidak melakukan hal negatif atau larangan agama, kapan pun dan di mana pun.

     Harus kita akui, bahwa kultur yang berkembang di masyarakat, bulan Ramadhan malah menjadi bulan yang lebih konsumtif dibanding bulan lainnya. Hal ini terjadi karena puasa hanya menjadi moment perpindahan waktu konsumsi, khsusnya makanan dari siang ke malam hari. Bahkan, stock konsumsi di bulan Ramadhan biasanya meningkat secara kuantitas dan kualitas serta lebih istimewa di banding hari-hari biasa.

     Lebih dari itu, puasa juga sering dijadikan ajang untuk melakukan sesuatu yang bersifat berlebihan seperti halnya membeli baju baru dengan stock berlebih, belanja kebutuhan dengan berlebihan dan lain sebagainya. Ini adalah sebuah kultur atau kebiasaan yang selama ini dibiasakan padahal kebiasaan yang salah. Seharusnya masyarakat sadar bahwasannya dengan datangnya bulan ramadhan, tingkat spiritualnya harus lebih meningkat, karena indikasi dari puasa sejatinya membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT.

     Puasa Ramadhan Sebagai Sarana Tadzhibun Nafsi Puasa yang hakiki adalah menahan diri dari hal yang dapat menjauhkan diri dari Allah Swt. Imam al-Ghazali dalam buku yang berjudul “Nurun ‘Ala Nur (Cahaya di Atas Cahaya)  mengatakan “Kesempurnaan puasa adalah dengan mencegah segenap anggota badan dari segala hal yang tidak disenangi oleh Allah. Seyogyanya engkau juga menjaga mata dari melihat hal-hal yang tidak disenangi oleh Allah, menjaga lisan dari mengucapkan hal-hal yang tidak bermakna, menjaga telinga dari mendengarkan, hal-hal yang diharamkan Allah SWT. Orang yang mendengar adalah teman si pembicara, yang karenanya dia juga dikategorikan sebagai orang yang menggunjing. Begitu juga engkau harus mengontrol seluruh anggota badan sebagaimana engkau menjaga perut dan kemaluan”.

     Untuk menggapai puasa yang hakiki, seseorang tidak cukup hanya dengan menjaga anggota badan bagian luar dari hal-hal yang tidak disenangi Allah. Lebih dari itu, ia juga harus menjaga anggota batin, yaitu hati. Maksiat batin juga harus dienyahkan, karena juga akan merusak kesucian makna puasa.

     Sumber utama maksiat ini adalah hati. Ia harus membersihkan penyakit-penyakit hati seperti, sombong, ujub, congkak, iri, dengki, riya’ (pamer) dan berbagai penyakit hati lainnya yang dapat mengurangi atau bahkan membatalkan tujuan, hikmah dan pahala puasa. Penyakit-penyakit ini seolah sangat sederhana, padahal sangat berbahaya, karena dapat membakar amal baik laksana bara api yang meluluhlantakkan kayu yang sudah kering.

     Puasa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam membentuk spiritualitas seseorang. Penempaan jiwa dan hati melalui latihan ragawi (menahan lapar dan dahaga) mempunyai arti dan peran penting dalam membentuk dan meningkatkan spiritualitas seseorang. Kondisi raga yang lapar dan dahaga (karena Allah SWT) akan menjadikan sesorang lebih sensitif dan aktif untuk melakukan hal-hal yang posistif. Lebih aktif membersihkan hari, mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh karena itu bulan ramadhan hendaknya diisi dengan kegiatan yang positif sehingga menjadikan kualitas puasa kita lebih maksimalis.

     Salah satu hal yang sangat penting dari puasa kita yaitu  mampu mensucikan diri atau tadzhibun nafsi. Artinya, kita harus selalu mawas diri pada musuh terbesar umat manusia, yakni hawa nafsu sebagai musuh yang tidak pernah berdamai. Rasulullah SqAW bersabda: Jihad yang paling besar adalah jihad melawan diri sendiri. Di dalam kitab Madzahib fît Tarbiyah diterangkan bahwa di dalam diri setiap manusia terdapat nafsu/naluri sejak ia dilahirkan. Yakni naluri marah, naluri pengetahuan dan naluri syahwat. Dari ketiga naluri ini, yang paling sulit untuk dikendalikan dan dibersihkan adalah naluri Syahwat.

     Kesemua amalan di atas dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan agar kehidupan kita setelah bulan Ramadahan benar-benar memberikan kesan spiritualitas yang mendalam dan dapat menebarkan aura spiritualitas tersebut kepada sekalian makhluk di jagat raya. Dengan demikian, puasa ramadhan membawa keberkahan dalam kehidupan seorang muslim dibulan-bulan lainnya pun akan menjadi lebih bermakna. Wallahu A’lam bisshawab